Search This Blog

Thursday, October 28, 2010

Agribisnis dan Dunia Pertanian Kita


Agribisnis dan Dunia Pertanian Kita
 
Oleh Yayat Dinar N

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia pertanian kita dari waktu ke waktu tidak mengalami perkembangan yang signifikan. Ini dipengaruhi oleh pola diregulasi kebijakan pemerintah yang cenderung menduakan sektor ini, di mana kebijakan-kebijakan yang ditetapkan sering kali tumpang tindih sehingga sangat menyulitkan dalam mengimplementasikan di lapangan yang akhirnya berakibat pada lambatnya perkembangan sektor ini.
Dunia pertanian kita hingga saat ini tidak berkembang dan bahkan cenderung ditinggalkan oleh rakyat. Mandeknya sektor pertanian ini berakar pada terlalu berpihaknya pemerintah terhadap sektor industri sejak pertengahan tahun 1980-an.
Pada dekade sebelumnya terjadi peningkatan yang luar biasa pada sektor pertanian. Pemerintah menganggap pembangunan pertanian dapat bergulir atau berjalan dengan sendirinya, asumsi ini membuat pemerintah mengacuhkan pertanian dalam strategi pembangunannya.
Sebetulnya hal ini tidak terlepas dari paradigma pembangunan saat itu yang lebih menekankan pada industrialisasi. Pemerintah mencurahkan perhatiannya pada sektor industri, yang kemudian diterjemahkan kedalam berbagai kebijakan proteksi yang sistematis, di mana secara sadar atau tidak proteksi ini telah merapuhkan basis pertanian pada tingkat petani.
Selain dari hal tersebut diatas, sebetulnya “fenomena” mengenai kemunduran dunia pertanian kita adalah, Pertama, petani menganggap sektor pertanian tidak lagi menjadi “primadona” dan tidak menjanjikan. Pendapatan atau penghasilan dari sektor pertanian tidak memadai, dimana harga jual sangat rendah sementara biaya produksi sangat tinggi.
Sebetulnya hal ini terjadi karena kelemahan kebijakan pemerintah mulai dari penyediaan pupuk, pembelian gabah dan penerapan harga pembelian pemerintah (HPP), distribusi beras maupun pengelolaan agribisnis. Pada setiap lini baik dari hulu sampai hilar tidak berjalan sistematis sehingga banyak ketimpangan-ketimpangan dalam mengimplemetasikan kebijakan tersebut. Lingkaran inilah yang membuat sektor pertanian tidak menguntungkan secara ekonomi, karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi dalam proses produksinya.
Kedua, pemasaran produk (product of marketing) pertanian sangat terbatas, faktor utama dalam pertanian adalah pemasaran, karena saat ini pasar sangat terbatas dalam menerima produk hasil pertanian selain itu juga hanya produk-produk tertentu dari pertanian bisa diserap pasar.
Kebanyakan petani kita tidak memahami konsep pemasaran produk, sehingga petani kesulitan dalam memasarkan produk-produk pertanian yang akhirnya membuat harga tidak stabil atau tidak menguntungkan.
Ketiga, lahan pertanian semakin sempit, selama ini banyak lahan pertanian disulap menjadi lahan industri dan lahan perumahan (realestate). Hal ini disebabkan karena banyak petani yang menjual lahan pertaniannya karena menganggap pertanian sudah tidak lagi bisa menjadi “sandaran” hidup atau tidak lagi menjanjikan. Sehingga petani tergiur keuntungan sesaat tanpa mempertimbangkan dampak yang terjadi setelah penjualan tanah tersebut.
Keempat, kurangnya “penelitian” (research) yang dilakukan terhadap pertanian maupun produk pertanian, baik oleh pemerintah maupun institusi-institusi terkait seperti lembaga-lembaga pendidikan tinggi sehingga pertanian berjalan monoton dan produk pertanian tidak bervariasi. Ini merupakan problematika mendasar dari pola kebijakan pemerintah terhadap dunia pertanian, dimana tidak adanya kebijakan pemerintah yang merangsang berkembangnya institusi atau lembaga-lembaga penelitian pertanian.
Kelima, kurangnya dukungan “finansial” bagi dunia pertanian, selama ini bank sebagai pemegang otoritas keuangan baik bank pemerintah maupun swasta kurang sekali dalam mengucurkan kredit bagi usaha-usaha pertanian sehingga pertanian sulit untuk berkembang karena kesulitan finansial. Selama pihak perbankan masih belum sepenuhnya percaya terhadap dunia pertanian, maka dengan sendirinya dunia pertanian kita tidak berkembang.
Faktor-faktor tersebut menjadi “fenomena” tersendiri dari dunia pertanian kita, selama ini pertanian dianggap sebagai “anak tiri” oleh pemerintah sehingga belum bisa berkembang dan maju. Pemerintah terlalu berpihak pada sektor industri, kebijakan pemerintah terhadap pertanian sejak tahun 1980-an cenderung terlalu distortif.
Kebijakan-kebijakan inilah yang membuat sektor pertanian tidak berkembang. Untuk itulah diperlukan “diregulasi” kebijakan pemerintah yang “kondusif” dan “konklusif” untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sektor pertanian.
Pemerintah perlu melakukan integrasi sektor pertanian dalam kebijakan makro agar tidak berat sebelah mendukung sektor industri, selain itu juga pemerintah perlu menyediakan sarana dan prasarana (termasuk untuk penelitian). Subsidi tetap diperlukan namur bukan subsidi sektoral, melainkan subsidi kelompok miskin yang kebanyakan berada dipedesaan.

Agribisnis
Ruang lingkup “agribisnis” tidak terlepas dari sektor pertanian, karena agribisnis merupakan langkah “taktis” lanjutan usaha untuk menaikan atau mengembangkan nilai guna atau manfaat lebih dari hasil pertanian.
Sektor agribisnis dalam ruang lingkup ekonomi masa kini mencakup berbagai macam usaha komersial, dengan menggunakan kombinasi “heterogen” dari tenaga kerja, bahan, modal dan teknologi. Selain itu juga agribisnis merupakan sektor perekonomian yang menghasilkan dan mendistribusikan masukan bagi para petani, dan memasarkan, memproses serta mendistribusikan produk usaha tani kepada pengguna atau konsumen.
Sektor agribisnis merupakan lahan yang sangat “potensial” bagi pertumbuhan perekonomian nasional, karena sektor ini bisa menyerap banyak tenaga kerja, mulai dari tingkat petani, produksi maupun tingkat pemasaran. Selama ini sektor agribisnis sangat terpinggirkan oleh sektor industri, karena dianggap sektor yang tidak “komersial” dan belum “produktif”.
Jika kita lihat potensi sumber daya alam kita serta sumber daya manusia, sangat mungkin bagi kita untuk mengembangkan serta meningkatkan kualitas sektor agribisnis. Coba kita bayangkan berapa banyak tenaga kerja yang dibutuhkan pada setiap lini yang menggerakkan sektor ini, mulai dari petani sebagai kegiatan hulu, pekerja sampai tenaga pemasaran produk.
Hal inilah yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah untuk memajukan sektor agribisnis. Peningkatan pendapatan ekonomi rakyat sangat mutlak dilakukan, karena hal ini menunjang kelangsungan hidup rakyat khususnya dan negara pada umumnya.
Peningkatan ekonomi rakyat akan secara “linier” berpengaruh terhadap perekonomian nasional, ketika ekonomi rakyat kuat dan tinggi maka perekonomian negara akan sangat kuat, karena secara fundamental perekonomian negara ini didukung oleh perekonomian rakyat.
Sudah sepantasnya saat ini pemerintah harus berpaling pada sektor agribisnis dan pertanian dalam meningkatkan pendapatan nasional disamping ekspor minyak bumi dan gas. Karena secara “kuantitatif” sumber daya alam sektor agribisnis sangat melimpah.
Selain itu juga secara “kultural” basis ekonomi rakyat Indonesia adalah pertanian terutama dipedesaan, oleh karena itu arah pembangunan nasional kedepan haruslah berorientasi pada pembangunan sektor pertanian maupun sektor agribisnis yang lebih mandiri dan “kondusif”. Sehingga tercipta iklim yang konferhensif dan dinamis terhadap perkembangan pertanian dan sektor agribisnis masa depan. Memperkuat basis pertanian dan sektor agribisnis akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian rakyat yang selama ini terpinggirkan, yang akhirnya berimplikasi terhadap penguatan ekonomi secara nasional.n


Penulis adalah Staf Nuri Lestari Foundation




Analisis Kebijakan Insentif Fiskal dan Non Fiskal Terhadap
Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu di Kawasan Timur Indonesia[1]

Oleh: Agunan P. Samosir[2]




Rekomendasi

Kunci keberhasilan pembangunan di KTI tidak hanya tergantung dengan insentif fiskal, akan tetapi juga tergantung dari peranan pemerintah daerah setempat dalam memberikan insentif non fiskal, yaitu: penyediaan SDM yang berkualitas, lokasi usaha/industri yang strategis, infrastruktur yang memadai, jaminan keamanan berusaha dan memiliki pusat promosi sesuai dengan standar yang dibutuhkan investor dan dunia luar.
Perlu dilakukan studi atau kajian lanjutan untuk mengetahui dampak pemberian insentif fiskal yang selama ini telah diberikan kepada KAPET KTI dan tentang KTI berdasarkan kebutuhan serta potensi ekonomi daerah masing-masing. Sehingga, pemerintah melalui Departemen Keuangan dalam memberikan insentif fiskal kepada KAPET benar-benar sesuai dengan tujuan pembentukan KAPET dan dalam rangka percepatan pembangunan KTI.

Permasalahan
Beberapa permasalahan pokok yang menjadi fokus policy paper ini yaitu: (i) Insentif fiskal apa saja yang perlu diberikan kepada KTI agar mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan? (ii) Insentif non fiskal apa saja yang perlu diberikan agar dapat menjamin perkembangan investasi di KTI?, dan (iii) Apakah insentif fiskal lebih penting dibandingkan insentif non fiskal atau harus dilakukan bersamaan?

Tujuan
Tujuan dari penulisan paper ini adalah: (i) mengidentifikasi insentif fiskal apa saja yang perlu diberikan kepada KTI agar mencapai pertumbuhan ekonomi seperti yang diharapkan (ii) mengidentifikasi Insentif non fiskal apa saja yang perlu diberikan agar dapat menjamin perkembangan investasi di KTI, dan (iii) menentukan insentif fiskal lebih penting dibandingkan insentif non fiskal atau harus dilakukan bersamaan

Metodologi
Secara umum, beberapa hal yang menjadi pertimbangan bagi suatu perusahaan terutama investor asing yang akan membangun pabriknya di luar negeri adalah sebagai berikut: (1) Biaya produksi yang lebih murah (competitive);, (2) Ekspansi produk ke pasar internasional dan lokal dalam mencapai skala ekonomi terpenuhi, (3) Hambatan tariff and trade, (4) Kebijaksanaan pemerintah berkaitan dengan investasi (investment procedures), (5) High Foreign Indebtedness, (6) Unstable Government/Country risk, (7) Foreign Exchange Problem, (8) Corruption, (9) Technological piranting, dan (10) Security.

Temuan
Peranan pemerintah daerah sebagai kebijakan insentif non fiskal dalam menggerakkan ekonomi daerah masing-masing adalah sangat penting. Sekali lagi, unsur politis agar dihindarkan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Pemerintah daerah dan KAPET harus mempromosikan kepada investor beberapa keunggulan-keunggulan selain komoditi sebagai daya tarik investasi.
Faktor lokasi akan berdampak terhadap keputusan investor yang akan menanamkan modalnya. Lokasi yang strategis, misalnya dekat dengan pelabuhan, kota besar (ibukota propinsi) atau ibukota negara akan memiliki poin yang berbeda dengan daerah yang terpencil. Faktor lokasi ini akan menjadikan Kabupaten/Kota sebagai suatu kelebihan yang ditawarkan kepada pengusaha baik domestik maupun asing yang memandang Kabupaten/Kota sebagai basis awal dalam pengembangan perusahannya. Dengan kemudahan yang diperoleh investor untuk mencapai Kabupaten/Kota, maupun kedekatan dengan pelabuhan internasional, maka diharapkan akan menjadi limpahan kunjungan usaha. Saat ini, Kabupaten/Kota yang memiliki lokasi strategis di KTI adalah pelabuhan samudera Bitung, Sulawesi Utara yang dapat dikembangkan sebagai pelabuhan internasional.
Untuk mendukung berkembangnya industri, infrastruktur yang merupakan salah satu daya tarik untuk menarik investasi. Infrastruktur ini antara lain meliputi panjang jalan raya (atau sarana perhubungan lainnya), ketersediaan listrik, telepon, dan air bersih yang pada gilirannya dapat menunjang kelancaran proses produksi dan pemasaran produk di sekitar wilayah dan di luar KTI. Sektor perhubungan mempunyai  peranan penting dalam menunjang keberhasilan sektor-sektor lainnya, terutama dalam memperlancar lalu lintas barang dan jasa (sektor perdagangan regional), termasuk dalam rangka menopang pemasaran obyek-obyek wisata daerah. Sarana dan prasarana terdiri dari kondisi panjang jalan raya, jembatan, jaringan transportasi dan telekomunikasi.
Pembangunan daerah di KTI dan KAPET adalah pembangunan masyarakat seutuhnya dan seluruhnya yang dilaksanakan di seluruh wilayah KTI untuk semua lapisan masyarakat serta dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat sebagai perwujudan perbaikan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu pokok-pokok kebijaksanaan pembangunan daerah diarahkan pada pengembangan SDM, dan memperdayakan ekonomi rakyat, sehingga dapat mengaktualisasikan potensi sumber daya daerah secara berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Salah satu aspek yang terpenting dalam mendorong terciptanya iklim invetasi yang kondusif adalah keamanan yang terkendali. Pada saat ini konflik yang bernuansa SARA cenderung terjadi dibeberapa daerah di KTI, kondisi semacam ini jelas akan mengurangi dan menghentikan minat investor untuk menanamkan modalnya dan pada gilirannya daerah tersebut mengalami kemandekan ekonomi dan penduduk setempat akan menjadi miskin akibat terhentinya aktivitas ekonomi. Dengan berlakunya UU otonomi daerah, diharapkan Pemda dan DPRD masing-masing daerah di KTI dapat memberikan rasa aman dan iklim yang kondusif untuk berinvestasi didaerah tersebut dan mengikutsertakan partisipasi keseluruhan elemen-elemen baik sosial maupun ekonomi yang berada di daerah tersebut.
Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam rangka memperkenalkan potensi yang dimilikinya kepada para calon investor adalah dengan mendirikan Pusat Promosi. Pusat promosi inilah yang nantinya akan melakukan kegiatan misi promosi. Melalui kegiatan promosi dapat diinformasikan kepada dunia usaha internasional bahwa daerah di KTI adalah tempat berinvestasi yang baik. Melalui misi promosi ini, pihak-pihak dunia internasional akan mendapatkan informasi secara langsung, sehingga issue-issue negatif yang muncul dapat diredam secara perlahan. Dalam rangka mempromosikan Kabupaten/Kota kepada dunia usaha, Pusat Informasi dapat menerbitkan berbagai buku tentang informasi seperti misalnya "Kabupaten/Kota Report" yang menginformasikan kepada investor baik domestik maupun asing di KTI tentang perkembangan dunia usaha terakhir, khususnya investasi di daerah KTI.
Strategi pemasaran keluar (eksternal) dapat diarahkan pada proses menciptakan citra baik (image building) dan penciptaan peluang usaha. Agar tidak ketinggalan dengan negara atau daerah lain, masing-masing daerah nantinya perlu melakukan kegiatan promosi aktif baik ke dalam maupun ke luar negeri. Melalui kegiatan promosi investasi ini, dapat diinformasikan kepada dunia usaha internasional bahwa KTI adalah tempat berinvestasi yang baik. Kegiatan promosi luar negeri juga dapat dilakukan dengan menyediakan media informasi lainnya seperti brosur-brosur dalam berbagai bahasa (Investment Guidelines, Investment Opportunity), display/panel, seminar, diskusi tentang perkembangan pembangunan daerah KTI terbaru atau dapat pula dilakukan dengan membuka web site di internet yang menyediakan berbagai informasi tentang KTI.
Salah satu Kabupaten yang baru dibentuk dari hasil pemekaran Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur yaitu Kabupaten Kutai Timur sudah mempersiapkan grand strategy pembangunan melalui gerakan daerah pembangunan agribisnis (Gerdabangagri) adalah suatu program yang mewujudkan Kutai Timur menjadi Pusat Agribisnis dan Agroindustri pada tahun 2010, yang memiliki daya saing serta mampu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat secara kesinambungan. Meskipun Kutai Timur didominasi sektor minyak dan gas bumi serta batubara. Pemda Kutai Timur mengisyaratkan bahwa SDA tersebut pada saatnya akan habis dan tidak terbaharukan, sehingga ketergantungan SDA tidak menguntungkan bagi pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, dengan memiliki 1,3 juta ha lahan potensial yang cocok dan siap untuk dikembangkan (kelapa sawit, karet, lada, coklat, kopi, nenas, kenaf dan kelapa) serta wilayah perairan pantai sepanjang 152 km dan 1/3 dari 12 mil dari garis pantai kearah laut dengan kandungan ikan yang cukup besar yang dapat dikembangkan menjadi industri agribisnis perikanan, maka Pemda Kutai Timur telah mengundang investor asing dan domestik untuk menanamkan modalnya pada Agrobisnis dan Agroindustri. Kepedulian terhadap pelestarian SDA, dan pengembangan SDM menjadi modal dasar bagi kelangsungan pembangunan agribisnis saat ini menjadi perhatian besar bagi Pemda setempat.
Hal yang lebih menarik lagi, Pemda Kalimantan Selatan telah melakukan kesepakatan investasi/Memorandum of Understanding (MoU) dengan investor asing yang bermitra dengan investor domestik senilai Rp33 trilyun. Investasi tersebut antara lain: pembangunan pabrik semen, pembangunan kertas dan pulp, penambangan batu bara di bawah tanah, agrobisnis dan agroindustri. Kesepakatan ini diharapkan dapat terealisasi jika kondisi politik nasional sudah kondusif untuk iklim investasi, sehingga investor tidak menunda atau membatalkan rencana investasi tersebut. Disamping itu, Pemda Kalsel telah memprioritaskan pembangunan prasarana dan sarana transportasi untuk mempermudah akses produksi dan pemasaran produk yang akan dihasilkan ke wilayah sekitar, dalam negeri dan luar negeri.
Dalam rangka peningkatan pertambahan wisatawan asing dan lokal di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara terutama di Pulau Tomia, Investor asing telah menanamkan modalnya dengan membangun resor wisata untuk olahraga selam (wisata bahari) di kawasan Taman Nasional Wakatobi. Di samping itu, untuk mempermudah akses transportasi wisatawan asing dan lokal menuju pulau tersebut. Investor asing (Swiss) telah membangun lapangan terbang untuk jenis pesawat Fokker 28. Dengan semakin mudahnya transportasi dari ibukota propinsi ke pulau tersebut akan menambah jumlah wisatawan asing dan lokal dan pada gilirannya akan menambah PAD Buton serta menciptakan multiplier effect di wilayah sekitar seperti penciptaan lapangan kerja dan usaha kecil menengah. Hal yang menarik adalah tingginya partisipasi masyarakat Tomia terhadap sektor pariwisata yang dicanangkan Pemda Buton dengan menghibahkan tanah mereka untuk pembangunan lapangan terbang tersebut.



SUARA PEMBARUAN DAILY

Implementasi Kebijakan Perberasan Nasional

Oleh Hermanto
PEMERINTAH telah mengeluarkan kebijakan pengaturan impor beras seperti tertuang dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 9/MPP/Kep/1/2004. Penulis berusaha mencoba membahas bagaimana mendudukkan kebijakan pengaturan impor beras tersebut di dalam konteks implementasi kebijakan perberasan nasional yang komprehensif, sebagaimana tercantum di dalam Inpres No 9 Tahun 2002 tentang Penetapan Kebijakan Perberasan.
Inpres No 9/2002 bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dan ketahanan pangan nasional melalui komponen-komponen kebijakan sebagai berikut: (a) kebijakan peningkatan produktivitas dan produksi padi/beras nasional, (b) kebijakan pengembangan diversifikasi kegiatan ekonomi petani padi, (c) kebijakan harga pembelian gabah/beras oleh pemerintah, (d) kebijakan impor beras yang melindungi produsen dan konsumen, dan (e) kebijakan pemberian jaminan penyediaan dan penyaluran beras untuk kelompok masyarakat miskin dan rawan pangan.
Berdasarkan elemen-elemen kebijakan tersebut dapat diketahui bahwa kebijakan perberasan nasional merupakan suatu paket kebijakan yang terdiri dari lima elemen kebijakan. Elemen kebijakan pertama (peningkatan produksi), elemen kebijakan kedua (diversifikasi), dan elemen kebijakan ketiga (kebijakan harga) dapat dipandang sebagai elemen kebijakan yang mempromosikan agribisnis perberasan nasional. Adapun elemen kebijakan keempat (kebijakan impor) dan elemen kebijakan kelima (distribusi beras untuk keluarga miskin, Raskin) me- rupakan kebijakan yang melindungi petani dan konsumen dari dampak negatif perdagangan beras internasional.
Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan produksi padi nasional, pemerintah tengah mempromosikan pengembangan sistem dan usaha agribisnis berbasis usahatani padi. Berbagai program promosi yang dilaksanakan secara berkelanjutan adalah sebagai berikut: (a) Pengembangan infrastruktur mendukung usahatani padi dan peningkatan akses petani terhadap sarana produksi dan sumber permodalan, (b) Peningkatan mutu intensifikasi uasahatani padi dengan menggunakan teknologi maju, (c) Melaksanakan ekstensifikasi lahan pertanian terutama di luar Jawa, dan (e) Peningkatan akses petani terhadap sarana pengolahan pasca panen dan pemasaran.
Pelaksanaan berbagai tersebut ternyata telah mendorong peningkatan produksi padi pada tahun 2003 mencapai 51,85 juta ton gabah kering giling, atau meningkat sekitar 0,70 persen dibanding produksi tahun 2002. Adapun produktivitas padi pada tahun 2003 meningkat menjadi 45,27 kuintal/ha, atau naik sekitar 1,29 persen dibandingkan tahun 2002. Dalam jangka menengah, program promosi peningkatan produktivitas usahatani padi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan daya saing usaha tani padi. Dengan demikian, dalam jangka menengah tingkat proteksi terhadap komoditas padi secara bertahap dapat dikurangi.
Mengingat bahwa rata-rata luas pemilikan lahan petani yang sempit, maka pendapatan rumah tangga petani tidak mungkin dapat dicukupi jika petani hanya mengandalkan usahatani padi saja. Petani perlu melakukan diversifikasi usahanya, guna meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kemampuan untuk mengantisipasi risiko produksi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah tengah mempromosikan diversifikasi usaha di pedesaan secara berkelanjutan, di antaranya melalui program diversifikasi pada tingkat usahatani (on-farm diversification), diversifikasi usaha yang terkait dengan usahatani (off-farm diversification), diversifikasi menurut wilayah pengembangan agro-ekosistem membentuk kawasan agribisnis unggulan (regional diversification).
Guna mendukung diversifikasi usaha di pedesaan ini, pemerintah secara terus menerus mengupayakan penyaluran kredit agribisnis dengan bunga bersubsidi. Dengan adanya kredit ini, diharapkan petani dan lembaga usaha di pedesaan dapat melakukan investasi dalam bidang usaha agribisnis dan agro industri.
Kebijakan harga pembelian pemerintah bertujuan agar petani padi menerima harga gabah yang layak, sehingga mereka menerima insentif untuk meningkatkan produktivitasnya. Sebagai implementasi dari kebijakan harga ini, pemerintah melalui Perum Bulog melakukan pembelian gabah dalam negeri sejumlah 6 - 7 persen dari produksi nasional dengan harga sesuai dengan harga pembelian pemerintah.
Hasil pemantauan harga yang dilakukan oleh BPS menunjukkan bahwa pada bulan April-Juli 2004 (pada saat panen raya) rata-rata harga gabah kering panen yang diterima petani berkisar antara 93,5 - 98,9 persen dari harga pembelian pemerintah.Tetapi di luar musim tersebut harga yang diterima petani telah sama atau lebih tinggi dari harga pembelian pemerintah. Mencermati fakta tersebut dapat dikatakan bahwa kebijakan harga mempunyai pengaruh yang positif terhadap harga gabah di pasar, walaupun pada waktu itu kebijakan harga ini belum didukung sepenuhnya oleh kebijakan impor beras. Hal tersebut ditunjukkan oleh rata-rata harga nominal gabah petani pada tahun 2003 sebesar 99,0 persen dibandingkan dengan harga pembelian pemerintah.
Kebijakan Proteksi
Dalam jangka waktu empat tahun terakhir ini, harga beras di pasar internasional cenderung menurun dari sekitar US$ 300/ton menjadi sekitar US$ 175/ton. Perubahan di pasar internasional beras disebabkan antara lain oleh: (a) terjadinya peningkatan produksi beras di masing-masing negara anggota ASEAN, Cina dan India; (b) berkembangnya sarana transportasi dan komunikasi; (d) menurunnya laju peningkatan konsumsi beras karena peningkatan pendapatan; dan (e) meningkatnya investasi di bidang produksi padi/beras antarnegara.
Rendahnya harga beras di pasar internasional pada saat ini tidak mencerminkan nilai ekonomis untuk memproduksinya, karena negara eksportir beras menerapkan tarif bea masuk beras yang tinggi (40 - 65%), negara eksportir beras memberikan berbagai bentuk subsidi dan subsidi ekspor, serta pasar beras internasional merupakan pasar residual, dalam arti bahwa beras yang dijual murah tersebut adalah beras yang mempunyai kualitas rendah dan tidak dikonsumsi di dalam negeri. Keadaan ini menyebabkan petani dalam negeri harus bersaing secara tidak adil dengan petani luar negeri yang sarat dengan perlindungan dan subsidi.
Hasil kajian menunjukkan bahwa sebenarnya kebijakan proteksi dengan pengenaan tarif impor sebesar Rp 430/kg yang berlaku pada saat ini belum dapat melindungi petani dari rendahnya harga beras di pasar internasional. Menurut perhitungan, masih ada perbedaan sekitar Rp 200/kg antara harga gabah dalam negeri dan harga paritas eks impor (setelah pengenaan tarif) dalam ekuivalen gabah. Perlindungan tersebut akan semakin berkurang terutama pada saat musim panen raya, karena beras impor dengan harga yang rendah tetap membanjiri sentra-sentra produksi padi.
Sebagai alternatif dari kebijakan tarif, pemerintah telah melakukan perlindungan petani dengan menerapkan kebijakan pengaturan impor beras berdasarkan Kepmen Perindag No 9/MPP/Kep/1/ 2004 yang mengatur pelarangan impor beras satu bulan sebelum dan dua bulan sesudah panen raya sehingga beras impor dilarang masuk ke wilayah Indonesia pada bulan Januari - Juni, dan pada periode di luar panen raya, beras impor dapat masuk dengan pengaturan jumlah, tempat (pelabuhan), kualitas dan waktu.
Dengan menutup impor beras pada musim panen raya, diharapkan para petani yang selama ini tidak pernah menikmati harga gabah yang bagus pada musim panen raya, diharapkan dapat terlindungi dari serbuan beras impor yang harganya murah. Memang disadari bahwa keputusan pengaturan impor beras ini bukanlah suatu keputusan yang terbaik, namun instrumen tersebut saat ini merupakan suatu pilihan yang harus diambil untuk melindungi petani padi di dalam negeri.
Sementara itu, program Raskin (distribusi beras bersubsidi kepada kelompok masyarakat miskin perlu dilanjutkan karena perekonomian nasional belum sepenuhnya pulih. Namun demikian, program Raskin perlu dikaitkan dengan program pengurangan kemiskinan secara keseluruhan. Dengan demikian, program Raskin dapat dikatakan berhasil jika besaran kegiatan itu menurun. Pada tahun 2003 pemerintah menyalurkan beras Raskin kepada sekitar 8 (delapan) juta KK dengan jumlah beras sekitar 1,9 juta ton.
Lengkap
Dengan terbitnya Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 9/MPP/Kep/1/2004 tentang peraturan impor beras, maka lengkaplah instrumen kebijakan perberasan nasional, terutama yang menyangkut kebijakan perlindungan petani dalam negeri dari dampak negatif perdagangan bebas besar di pasar internasional. Adalah kewajiban pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk melaksanakan kebijakan perberasan nasional secara terkoordinasi, sistematis, konsisten dan berkelanjutan.
Efektivitas kebijakan perberasan nasional sangat tergantung pada keterkaitan dan sinergisme antarelemen kebijakan. Dengan demikian, tugas pemerintah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk menindaklanjuti pelaksanaan dan pengamanan kebijakan perberasan nasional. Pemerintah harus meningkatkan koordinasi antardepartemen dan instansi terkait di pusat dan daerah dalam melaksanakan elemen-elemen kebijakan sebagaimana tertuang di dalam Inpres No 9 Tahun 2002. Selain itu juga melakukan pemantauan dan pengawasan agar pelaksanaan elemen pendukung kebijakan perberasan nasional terlaksana secara efektif, tepat sasaran, dan sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi petani.
Penulis adalah Kepala Pusat Pengembangan Distribusi Pangan, Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

Last modified: 5/3/04



Kebijakan Pembangunan Perkebunan


Kebijakan umum pembangunan perkebunan adalah memberdayakan di hulu dan memperkuat di hilir guna menciptakan nilai tambah dan daya saing usaha perkebunan, melalui pemberian insentif, penciptaan iklim usaha yang kondusif dan meningkatkan partisipasi masyarakat perkebunan serta penerapan organisasi modern yang berlandaskan kepada penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penerapan kebijaksanaan umum tersebut selanjutnya dijabarkan dalam beberapa kebijaksanaan teknis yang meliputi :
a.        Kebijaksanaan Pembangunan Komoditi
Kebijaksanaan pengembangan komoditas perkebunan ditempuh melalui optimasi asset perkebunan yang sudah ada dan pengembangan baru, baik untuk komoditas konvensional maupun komoditas potensial lainnya.
b.        Kebijaksanaan Pengembangan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia perkebunan tidak hanya sebagai factor produksi, namun lebih penting adalah sebagai pelaku usaha. Kebijaksanaan pengembangan sumberdaya manusia perkebunan diarahkan agar tumbuh dan berkembangnya proses perubahan guna mewujudkan system dan usaha agribisnis perkebunan yang bertumpu pada kemampuan dan kemandirian pelaku usaha perkebunan.
Ruang lingkup sumber daya manusia perkebunan meliputi jajaran birokrasi sub sector pembangunan dan SDM petani dan masyarakat perkebunan.
c.        Kebijaksanaan Investasi Usaha Perkebunan
Kebijaksanaan investasi usaha perkebunan dimaksudkan untuk lebih mendorong iklim investasi yang kondusif dalam pengembangan agribisnis perkebunan pada sentra-sentra perkebunan dengan mengutamakan peran serta petani, UKM, dan masyarakat secara luas. Dengan demikian maka potensi sumberdaya manusia yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal.
d.        Kebijaksanaan Peningkatan Dukungan terhadap Pembangunan Sistem Ketahanan Pangan
Pengembangan system ketahanan pangan di wilayah perkebunan dimaksudkan untuk mendukung ketersediaan, distribusi dan keamanan pangan sebagai bari system ketahanan pangan nasional.
e.        Kebijaksanaan Pengembangan Dukungan Terhadap Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
Kebijaksanaan pengembangan dukungan terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah memanfaatkan sumberdaya perkebunan secara optimal sesuai dengan daya dukung sehingga kelestarian lingkungan tetap terjaga. Dalam pembangunan perkebunan kebijaksanaan ini dimaksudkan adar pengembangan perkebunan dapat dilaksanakan secara harmonis, ditinjau dari aspek ekonomi, social dan ekologi.
f.         Kebijaksanaan Pengembangan Kelembagaan dan Kemitraan Usaha
Pengembangan Kebijaksanaan kelembagaan dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian kelembagaan agribisnis perkebunan dalam memanfaatkan peluang. Sedangkan kebijaksanaan pengembangan kemitraan usaha dimaksudkan untuk dapat memperoleh manfaat maksimal dari kegiatan agribisnis perkebunan.




BALITBANG PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN

 

Kebijakan Strategis

Visi dan Misi

Berdasarkan visi dan misi pembangunan pertanian, tujuan pembangunan IPTEK, dan dinamika lingkungan strategis domestik dan global, serta kebutuhan masyarakat, Badan Litbang Pertanian menetapkan visi dan misi yaitu:

Visi

Menjadi lembaga Litbang pertanian terunggul di Asia Tenggara dalam menghasilkan inovasi mendukung pertanian tangguh, sesuai dinamika kebutuhan pengguna.

Misi

·                     Menciptakan, merekayasa, dan mengembangkan inovasi teknologi dan rekomendasi kebijakan pembangunan di bidang pertanian sesuai dinamika kebutuhan pengguna.
·                     Meningkatkan efisiensi dan percepatan diseminasi kepada para pengguna serta meningkatkan penjaringan umpan balik inovasi pertanian.
·                     Mengembangkan jaringan kerjasama nasional dan internasional dalam rangka penguasaan IPTEK dan peningkatan peran Badan Litbang Pertanian dalam pengembangan agribisnis dan pembangunan pertanian.
·                     Mengembangkan kapasitas institusi Badan Litbang Pertanian menuju pengelolaan litbang yang profesional dan berintegritas moral tinggi.

Program Utama

Program utama Badan Litbang Pertanian 2005-2009, terdiri 5 program utama dan 13 sub program yaitu:
1.                    Program Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Pertanian:
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Tanah, Air, dan Agroklimat.
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian.
2.                    Program Penelitian dan Pengembangan Komoditas:
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Tanaman Perkebunan
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Peternakan
3.                    Program Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi dan Nilai Tambah Pertanian:
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Kebijakan Pertanian
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Mekanisasi Pertanian
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
4.                    Program Pengkajian dan Percepatan Diseminasi Inovasi Pertanian:
o                                            Sub Program Penelitian dan Pengkajian Teknologi Spesifik Lokasi.
o                                            Sub Program Pengembangan Model Agribisnis Berbasis Inovasi Pertanian
5.                    Program Pengembangan Kelembagaan dan Komunikasi Hasil Litbang:
o                                            Sub Program Pengembangan Kelembagaan Litbang Pertanian.
o                                            Sub Program Pengembangan Sumberdaya Informasi Iptek, Diseminasi dan Penjaringan Umpan Balik.

Tujuan, Sasaran, dan Strategi

Tujuan

Tujuan kegiatan penelitian dan pengembangan di Badan Litbang Pertanian dalam lima tahun ke depan (2005-2009):
·                     Mengeksplorasi, mengidentifikasi, mengkarakterisasi, mengkonservasi, dan meningkatkan manfaat potensi sumberdaya genetik pertanian secara lestari.
·                     Mengidentifikasi, mengkarakterisasi, dan menghasilkan teknologi pemanfaatan secara optimal potensi sumberdaya tanah, air, dan agroklimat.
·                     Menghasilkan dan mendiseminasikan inovasi teknologi pertanian untuk meningkatkan efisiensi usaha dan daya saing produk pertanian.
·                     Menghasilkan rekomendasi kebijakan sosial, ekonomi, dan rekayasa kelembagaan dalam rangka mendukung pengembangan agribisnis dan pembangunan pertanian.
·                     Menghasilkan model pengembangan agribisnis berbasis komoditas, agroekosistem, dan/atau wilayah yang didukung inovasi pertanian.
·                     Meningkatkan kapasitas dan profesionalisme serta integritas moral sumberdaya manusia, kualitas dan ketersediaan sarana/prasarana serta budaya kerja inovatif dan berorientasi bisnis.

Sasaran

Sasaran yang ingin dicapai oleh Badan Litbang Pertanian dalam lima tahun ke depan (2005-2009), sebagai berikut:
·                     Berfungsinya sistem pengelolaan plasma nutfah tanaman, ternak, dan mikroba pertanian untuk melayani kebutuhan penelitian dan kebutuhan komersial.
·                     Tersedianya dan berfungsinya teknologi pengelolaan sumberdaya lahan, air dan agroklimat secara optimal.
·                     Tersedianya dan berfungsinya inovasi teknologi dalam bidang pengelolaan sumberdaya pertanian, sistem dan teknik produksi komoditas, mekanisasi pertanian, pengelolaan pascapanen dan pengolahan hasil pertanian.
·                     Dihasilkannya, tersedianya, dan dimanfaatkannya benih dan bibit penjenis bermutu dari varietas tanaman dan strain ternak, dan produk biologis unggul.
·                     Tersedianya dan berfungsinya inovasi teknologi pertanian spesifik lokasi.
·                     Tersedianya dan berfungsinya model pengembangan agribisnis berbasis komoditas, agroekosistem atau wilayah yang didukung inovasi teknologi pertanian.
·                     Tersedianya dan berfungsinya rekomendasi kebijakan sosial, ekonomi, dan kelembagaan untuk mendukung pengembangan agribisnis dan pembangunan pertanian wilayah dan nasional.
·                     Meningkatnya intensitas, efektivitas, dan efisiensi diseminasi dan mekanisme penjaringan umpan balik inovasi dari pengguna.
·                     Meningkatnya kapasitas dan profesionalisme sumberdaya manusia, kualitas dan ketersediaan sarana/prasarana serta budaya kerja inovatif dan berorientasi bisnis.

Strategi

Strategi Badan Litbang Pertanian dalam lima tahun ke depan (2005-2009) sebagai berikut:
·                     Meningkatkan pemanfaatan sumber daya, dan memfokuskan pada kegiatan penelitian unggulan litbang secara optimal.
·                     Menajamkan skala prioritas serta memperkuat keterkaitan dan keselarasan program litbang dengan kebutuhan pengguna.
·                     Meningkatkan relevansi, kualitas, nilai tambah ilmiah dan nilai tambah ekonomi.
·                     Meningkatkan kerja sama penelitian dan komersialisasinya dengan lembaga litbang lain, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan swasta.
·                     Meningkatkan akselerasi diseminasi serta mekanisme umpan balik inovasi pertanian.






BALITBANG PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN:

PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS:
Unggas
Komoditas unggas mempunyai prospek pasar yang sangat baik karena didukung oleh karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim, harga relatif murah dengan akses yang mudah diperoleh karena sudah merupakan barang publik. Komoditas ini merupakan pendorong utama penyediaan protein hewani nasional, sehingga prospek yang sudah bagus ini harus dimanfaatkan untuk memberdayakan peternak di perdesaan melalui pemanfaatan sumberdaya secara lebih optimal.
Industri perunggasan di Indonesia berkembang sesuai dengan kemajuan perunggasan global yang mengarah kepada sasaran mencapai tingkat efisiensi usaha yang optimal, sehingga mampu bersaing dengan produk-produk unggas dari luar negeri. Pembangunan industri perunggasan menghadapi tantangan global yang mencakup kesiapan dayasaing produk perunggasan, utamanya bila dikaitkan dengan lemahnya kinerja penyediaan bahan baku pakan, yang merupakan 60-70 persen dari biaya produksi karena sebagian besar masih sangat tergantung dari impor. Upaya meningkatkan dayasaing produk perunggasan harus dilakukan secara simultan dengan mewujudkan harmonisasi kebijakan yang bersifat lintas departemen. Hal ini dilakukan dengan tetap memperhatikan faktor internal seperti menerapkan efisiensi usaha, meningkatkan kualitas produk, menjamin kontinuitas suplai dan sesuai dengan permintaan pasar.
 
Ternak ayam lokal dan itik dapat menjadi alternatif yang cukup menjanjikan dengan pangsa pasar tertentu, dimana hal ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa usaha peternakan ayam lokal dan itik cukup menguntungkan dan dapat diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga.
Profil usaha di sektor primer menunjukkan bahwa usaha peternakan ayam ras pedaging cukup memberikan peluang usaha yang baik, sepanjang manajemen pemeliharaan mengikuti prosedur dan ketetapan yang berlaku. Hal ini ditunjukkan dengan nilai B/C yang diperoleh secara berturut-turut sebesar 1,16; 1,28 dan 1,25 pada usaha mandiri, pola kemitraan inti-plasma dan pola kemitraan poultry shop dengan skala usaha 15 ribu ekor. Indikasi yang hampir sama juga terjadi pada ayam ras petelur pada skala usaha 10 ribu ekor, dengan nilai B/C adalah 1,29 dan 1,13 masing-masing untuk usaha mandiri dan pola kemitraan dengan poultry shop. Hal ini memberikan indikasi bahwa usaha peternakan ayam ras petelur mempunyai keuntungan yang relatif baik bagi para peternak. Sedangkan hal tersebut untuk usaha ayam lokal dan ternak itik masing-masing nilai B/C adalah 1,04 dan 1,2.
Salah satu prospek pasar yang menarik dan perlu dikembangkan adalah industri pakan unggas, dimana biaya pakan ini merupakan komponen tertinggi dalam komposisi biaya produksi industri perunggasan, berkisar antara 60-70 persen. Diproyeksikan masing-masing pada tahun 2010 dan tahun 2020, impor jagung dapat mencapai 4 juta ton dan 8 juta ton jika produksi jagung nasional tidak tumbuh. Jagung untuk pakan unggas memiliki prospek pasar yang sangat baik, dimana dinyatakan bahwa jika industri unggas tumbuh dengan baik, maka kebutuhan akan jagung juga terus meningkat. Pengembangan komoditas jagung perlu mendapatkan perhatian baik oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat petani.
Pengembangan unggas ke depan harus mulai dipikirkan di luar Jawa, dimana ketersediaan pasokan bahan pakan masih memungkinkan, serta prospek pemasaran yang baik. Pengalaman wabah Avian Influenza (AI) beberapa waktu yang lalu memberi pelajaran bahwa sudah saatnya dilakukan desentralisasi industri perunggasan nasional. Upaya ini akan sangat baik ditinjau dari berbagai aspek, baik teknis, ekonomis maupun sosial, dan dalam hal ini memerlukan dukungan kebijakan termasuk ketersediaan inovasi teknologi yang sesuai dengan perkembangan usaha.
Peranan pemerintah juga harus memperhatikan pada pengelolaan pasar, utamanya untuk: (a) melindungi industri ayam dalam negeri dari tekanan persaingan pasar global yang tidak adil, (b) mencegah persaingan tidak sehat antar perusahaan di pasar dalam negeri, (c) pengembangan sistem pencegahan dan penanggulangan wabah penyakit menular, serta (d) dukungan pembangunan infrastruktur penunjang lainnya. Untuk memberi kepastian berusaha pada peternakan mandiri perlu dibuat mekanisme yang menjamin transparansi dalam hal informasi produksi d.o.c., biaya bahan-bahan input, serta kondisi pasar (permintaan, produksi, dan harga).
Potensi dan arah pengembangan ayam lokal lebih difokuskan terhadap kerentanan potensi genetik terhadap penyakit unggas, sehingga konservasi terhadap plasma nutfah ayam lokal menjadi sangat penting.
Potensi dan arah pengembangan itik dititikberatkan pada perbaikan bibit, sehingga terjadi perbedaan antara itik untuk bibit dan itik untuk produksi. Program intensifikasi itik, dengan merubah pola pemeliharaan tradisional menjadi pemeliharaan terkurung atau intensif perlu dipertimbangkan dalam arah pengembangan peternakan unggas ke depan. Keadaan sawah yang semakin intensif menyebabkan jarak antara panen dan tanam menjadi semakin sempit yang menyebabkan semakin terdesaknya itik gembala. Penggunaan pestisida yang kurang bijaksana dapat menyebabkan kematian itik secara langsung dan menurunnya ketersediaan pakan itik di sawah berupa ikan kecil, cacing, katak dll. secara tidak langsung.
Pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas diarahkan untuk: (a) menghasilkan pangan protein hewani sebagai salah satu upaya dalam mempertahankan ketahanan pangan nasional, (b) meningkatkan kemandirian usaha, (c) melestarikan dan memanfaatkan secara sinergis keanekaragaman sumberdaya lokal untuk menjamin usaha peternakan yang berkelanjutan, dan (d) mendorong serta menciptakan produk yang berdayasaing dalam upaya meraih peluang ekspor.
Tujuan pengembangan agribisnis komoditas unggas adalah (a) membangun kecerdasan dan menciptakan kesehatan masyarakat seiring dengan bergesernya permintaan terhadap produk yang aman dan berkualitas, (b) meningkatkan pendapatan peternak melalui peningkatan skala usaha yang optimal berdasarkan sumberdaya yang ada, (c) menciptakan lapangan kerja yang potensial dan tersebar hampir di seluruh wilayah, dan (d) meningkatkan kontribusi terhadap pendapatan devisa negara.
Kebijakan peternakan unggas diarahkan pada visi pemberdayaan peternak dan usaha agribisnis peternakan, peningkatan nilai tambah dan dayasaing dengan misi mendorong pembangunan peternakan unggas yang tangguh dan berkelanjutan. Salah satu kebijakan yang diperlukan dan berpengaruh efektif mencapai visi tersebut adalah kebijakan dalam memperluas dan meningkatkan basis produksi melalui peningkatan investasi swasta, pemerintah dan masyarakat; serta kebijakan pewilayahan komoditas dan peningkatkan penelitian, penyuluhan dan pendidikan bagi peternak disertai pengembangan kelembagaan.
Apabila sasaran pengembangan agribisnis komoditas ternak unggas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pangan protein hewani pada 10 tahun mendatang, maka setara dengan 1.250 milyar ekor denagn nilai mencapai Rp. 24,5 trilyun. Pelaku investasi pengembangan agribisnis komoditas unggas dibedakan dalam tiga kelompok, yakni investasi yang dilakukan oleh rumah tangga peternak (masyarakat), swasta dan pemerintah.
Kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis ayam ras pedaging dan petelur berkisar antara 10-20 persen, masing-masing sebesar Rp.1 trilyun untuk memenuhi kebutuhan daging dan telur. Estimasi kebutuhan investasi masyarakat untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 60 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 4,5 trilyun dan Rp. 1,5 trilyun. Investasi masyarakat dalam hal ini dapat berupa investasi sumberdaya dan produksi yang meliputi aset tetap seperti lahan, kandang dan tenaga kerja. Sumber pembiayaan dapat berupa kredit dari perbankan maupun lembaga keuangan formal lainnya, serta tidak menutup kemungkinan lembaga keuangan non-formal seperti pinjaman kelompok maupun koperasi bersama.
Pangsa kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam pedaging dan petelur rata-rata berkisar antara 80 persen, berturut-turut adalah sebesar Rp. 9,5 trilyun dan Rp. 3,8 trilyun. Estimasi kebutuhan investasi swasta untuk pengembangan komoditas ayam lokal dan itik adalah sekitar 10 persen, dengan nilai Rp. 0,5 trilyun untuk ayam lokal dan Rp. 250 milyar untuk ternak itik. Bentuk investasi swasta dapat berupa peningkatan penyediaan sarana input seperti peningkatan pasokan bibit, pabrik pakan, peralatan serta obat dan vaksin. Investasi di sektor hilir seperti pabrik pengolahan dan prosesing produk unggas seperti penyediaan sarana cold storage dan pembangunan pabrik tepung telur perlu mendapat perhatian yang serius.
Investasi produksi yang berupa infrastruktur oleh pemerintah sangat diperlukan seperti penyediaan benih jagung unggul, penanganan pascapanen berupa pembuatan silo dan sarana transportasi. Estimasi kebutuhan investasi pemerintah untuk pengembangan agribisnis komoditas ayam ras pedaging dan petelur masing-masing adalah sebesar 5 persen, yakni Rp. 500 milyar untuk ayam ras pedaging dan Rp. 200 milyar untuk ayam ras petelur. Pada pengembangan komoditas ayam lokal dan itik, hal tersebut rata-rata berkisar antara 30 persen, dengan nilai berturut-turut Rp. 1 trilyun dan Rp. 750 milyar. Investasi pemerintah utamanya terfokus pada kegiatan promosi dalam upaya meningkatkan konsumsi daging dan telur yang aman, sehat, utuh dan halal. Pelayanan penyuluhan dan pendidikan kepada masyarakat sejak usia dini tentang manfaat mengkonsumsi daging dan telur perlu dilakukan secara konsisten. Peran pemerintah juga diharapkan dalam aspek penelitian dan pengembangan, utamanya dalam hal menyediakan alternatif bahan baku pakan berdasarkan sumberdaya lokal. Demikian pula halnya dengan identifikasi dan evaluasi untuk pengembangan ayam lokal yang resisten terhadap penyakit, serta peningkatan mutu genetik itik.
Untuk mencapai visi, misi dan tujuan program pembangunan pertanian diperlukan kebijakan pendukung. Beberapa kebijakan pendukung yang diperlukan adalah (a) kebijakan pendukung dalam membentuk lingkungan investasi yang kondusif, utamanya dalam hal pelayanan investasi khususnya investasi di luar sektor pertanian, (b) kebijakan dalam hal mempromosikan produk unggas, (c) dukungan kebijakan dan inovasi dalam hal tata-ruang, kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner, serta penegakan aturan yang terkait dengan lalulintas ternak dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah dan perdagangan global, (d) kebijakan pendukung dalam rangka pencegahan penyakit, utamanya dalam memperkuat pelayanan laboratorium dan pos-pos kesehatan hewan, serta kebijakan penyuluhan tentang bahaya dan pencegahan penularan penyakit unggas, dan (e) perlu membuat kebijakan tentang kemitraan agribisnis perunggasan yang adil baik bagi mitra maupun bagi inti melalui pembagian resiko dan keuntungan yang adil.



Pantjar Simatupang

REFORMASI AGRARIA MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN:
KOMENTAR TERHADAP MAKALAH PROFESOR MUBYARTO

 

Pendahuluan

Profesor Mubyarto berpendapat bahwa jika kita ingin mengadakan pembaruan atau reformasi agraria maka harus ada kesediaan meninjau kembali konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis. Bagi Profesor Mubyarto, sebagian besar kegiatan bertani (farming) di Indonesia bukanlah “business”, melainkan kehidupan (livelihood) dan way of life yang tidak semuanya dapat dibisniskan. Paradigma agribisnis yang dicanangkan Departemen Pertanian saat ini merupakan jiplakan begitu saja apa yang terjadi di Amerika, sama sekali tidak cocok dengan tatanan dan budaya kita. Ini adalah kesalahan para doktor ekonomi pertanian lulusan Amerika yang tanpa ragu-ragu sering mengatakan bahwa farming is business.
Saya mungkin salah seorang ekonom pertanian lulusan Amerika yang termasuk golongan “tertuduh bersalah” menganut dan menyebarluaskan pemikiran bahwa farming is business karena Profesor Mubyarto dan saya sama-sama alumni Iowa state University, Ames, Amerika Serikat. Sebagai seorang ilmuwan democrat saya yakin Profesor Mubyarto akan bersedia mendengar klarifikasi “sang tertuduh” juniornya ini. Untuk itu saya merasa wajib meminta maaf terlebih dahulu atas kelancangan saya menganut pemikiran yang sangat berbeda dan mengemukakannya secara terbuka di hadapan khalayak ramai.
Saya sependapat dengan Profesor Mubyarto bahwa reformasi agraria harus berarti pembaruan agraria yang menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan atau meningkatkan kesejahteraan mereka yang paling kurang beruntung di pedesaan. Namun, saya tidak sependapat dengan pandangan beliau bahwa paradigma agribisnis tidak konsisten dengan arah reformasi agraria yang berkerakyatan tersebut. Paradigma agribisnis dapat diadaptasikan dengan kondisi kontekstual Indonesia termasuk dalam perumusan reformasi agraria.

Farming is Livehood
Hemat saya, pendapat Profesor Mubyarto bahwa “bertani tetap merupakan kehidupan (livehood)” tidak berlaku umum dan harus tidak boleh dijadikan sebagai arah kebijakan jangka panjang. Bahwa pertanian skala kecil dan buruh tani merupakan kehidupan atau mata pencaharian bagi puluhan juta penduduk Indonesia, saya sangat setuju. Bagi saudara-saudara kita ini, pertanian merupakan salah satu pekerjaan pokoknya, sumber pangan pokoknya, dan sumber pendapatan utamanya agar keluarganya dapat hidup layak dan bermartabat. Ini khususnya benar di pedesaan terpencil dimana alternatif lapangan usaha atau lapangan kerja non-pertanian sangat terbatas atau praktis tidak ada. Bagi mereka, tidak ada alternatif mata pencaharian selain bertani. Bertani adalah untuk kelangsungan hidup.
Namun di banyak daerah pedesaan, yaitu dimana telah berkembang industri atau usaha non-pertanian atau memiliki akses ke perkotaan yang menyediakan alternatif lapangan kerja, bertani bukanlah satu-satunya sumber penghidupan. Ada banyak daerah pedesaan, khususnya di Jawa, dimana sumber utama pendapatan penduduknya adalah usaha non-pertanian. Bertani hanyalah sebagai sumber pendapatan tambahan. Keluarga tani tidak dapat hidup layak jika hanya mengandalkan pertanian.
Justru agenda kegijakan yang paling mendesak ialah bagaimana petani gurem dan buruh tani tidak lagi mengandalkan pertanian sebagai kehidupan keluarganya. Masalah pokoknya ialah luas baku lahan pertanian produktif tidak memadai untuk memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga tani. Tutal luas lahan pertanian kurang dari 40 juta hektar sedangkan jumlah keluarga tani lebih dari 20 juta. Sehingga kalaupun lahan yang ada dibagi rata, seluruh usaha tani tetap gurem, tidak memadai untuk menopang kehidupan yang layak bagi keluarga tani.
Mempertahankan bertani tetap menjadi kehidupan petani gurem dan buruh tani berarti membelenggu kaum miskin pedesaan dalam lingkaran setan kemiskinan. Pemikiran macam ini hanya melestarikan involusi pertanian yang berujung pada pemerataan kemiskinan (sharing poverty). Saya kira kita semua, termasuk Profesor Mubyarto, pasti tidak menghendaki hal ini terjadi.
Fenomena semakin bertambahnya penduduk miskin di pedesaan justru akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang mengandalkan bertani sebagai kehidupan. Farming is livelihood adalah akar masalah kemiskinan di pedesaan yang harus diberantas. Kemiskinan di pedesaan hanya dapat diberantas dengan mengurangi jumlah petani gurem dan buruh tani melalui penyediaan livelihood non-pertanian. Dalam hal ini saya setuju dengan Profesor Mubyarto, kekeliruan kita di massa lalu ialah terlalu mendahulukan industrialisasi berbasis eksternal dan terpusat di perkotaan sehingga gagal menjadikan lapangan kerja yang memadai untuk mengurangi tekanan angkatan kerja di sektor pertanian.
Dengan demikian, tantangan kita, pemerintah khususnya, justru bagaimana agar bertani tidak lagi menjadi kehidupan bagi petani gurem dan buruh tani. Untuk itu yang harus dilakukan ialah menyediakan sumber kehidupan alternatif, usaha non-pertanian, yaitu agroindustri dan industri kecil pedesaan lainnya. Dalam konteks inilah, berbeda dengan Profesor Mubyarto, saya melihat pengembangan agribisnis atau pertanian dalam arti luas sungguh tepat. Yang harus dipertanyakan ialah apakah sudah ada program dan kebijakan konkrit untuk menumbuh-kembangkan agribisnis dan industri pedesaan tersebut?
Dalam kaitannya dengan pembaruan agraria, saya sependapat kalau pembaruan penataan agraria harus tetap didasarkan pada pertimbangan bahwa pertanian adalah kehidupan bagi sejumlah besar penduduk pedesaan. Sistem sakap menyakap lahan, misalnya, harus ditata ulang sehingga memberi akses yang lebih mudah dan pembagian hak maupun kewajiban yang lebih adil bagi penggarap. Sementara itu, pembaruan agraria juga harus pula dirancang sehingga mampu mendorong tumbuh-kembangnya agribisnis dan industri kecil di pedessaan agar tekanan penduduk terhadap lahan berkurang. Dengan begitu, jumlah penduduk yang menggantungkan hidupnya pada pertanian dapat berkurang.


Farming is Business

Berbeda dengan Profesor Mubyarto, bagi saya, farming skala kecil atau usaha tani gurem pun adalah bisnis. Agribisnis tidak hanya perusahaan pertanian berskala bessar, yang menjanjikan keuntungan sangat besar, seperti PT. QSAR yang sudah bangkrut dan bikin heboh itu. Bagi saya small farming is a business too! Pengertian agribisnis tidak ada hubungannya dengan skala usaha. Asalkan bekerja pada tatanan pasar pertukaran dan berorientasi untuk mengoptimalkan tujuan atau kepuasan, bertani skala besar maupun skala kecil adalah usaha bisnis.
Bahwa pertaniaan gurem juga usaha bisnis dapat diuji dengan fakta berikut: petani gurem membeli sarana produksi dan menjual hasil usahatani, responsif terhadap perubahan harga sarana produksi dan harga hasil usahatani, memilih teknologi dan jenis tanaman (atau ternak, ikan) yang lebih menguntungkan. Banyak studi empiris membuktikan bahwa petani gurem di negara-negara berkembang rasional secara ekonomi. Bagi saya, rasionalitas ekonomi inilah, sudah menjadi ciri dasar suatu usaha bisnis. Tidak dapat terhindarkan, pada sistem perekonomian pasar farming is business.
Dewasa ini, farming is business adalah realita yang harus kita terima. Farming is business tidak meniscayakan argumen farming is livelihood dan farming is part of culture. Farming is not business hanya ada pada masa silam tatkala penduduk kita hidup subsisten, semua kebutuhan hidup dihasilkan dari pekerjaan sendiri. Farming is not business tinggal hanya dalam kenangan sejarah peradaban manusia.
Bukti yang paling gamblang bahwa pertanian gurem is business ialah penggunaan buruh tani sewaan dan traktor sewaan oleh petani kecil, petani penyakap dan petani penggarap. Kenapa mereka tidak melulu mengandalkan tenaga kerja keluarga yang mestinya tersedia cukup memenuhi kebutuhan usahatani yang sangat kecil. Jawabannya ialah pertimbangan bisnis.
Saya condong meraba-raba, pendapat Profesor Mubyarto bahwa farmings are not all business lebih merupakan keinginan subyektif beliau daripada gambaran realita. Barangkali keinginan idealistik tersebut berkaitan dengan obsesi beliau agar Indonesia mengadopsi Sistem Ekonomi Paancasila. Namun kita masih menunggu gagasan Profesor Mubyarto untuk mengoperasionalkan konsep yang sungguh indah tersebut. Kata kuncinya ialah etika dan moral bisnis yang tidak mudah disosialisasikan.
Dengan demikian, reformasi agraria hendaklah dirancang  antara lain dengan pertimbangan bahwa farming, small and large, are all business enterprises. Pembaruan agraria harus tetap mempertimbangkan dampaknya terhadap efiiensi usaha tani sebagai bisnis. Sudah barang tentu, efisiensi ekonomi tidaklah segalanya. Pembaruan agraria harus tetap memperhatikan aspek keadilan dan moral seperti yang dipaparkaan oleh Profesor Mubyarto. Saya yakin keadilan tidak selalu bertentangan bahkan dapat sinergis dengan efisiensi ekonomi.


Agribisnis sebagai Paradigma Pembangunan Pertanian

Profesor Mubyarto menolak tegas strategi agribisnis yang oleh para pemimpin Departemen Pertanian diakui sebagai strategi baru yang dianut saat ini. Alasan beliau ialah karena usaha tani kecil yang masih dominan saat ini bukanlah bisnis. Agrobisnis hanyalah ussaha pertanian berskala besar. Strategi pembangunan agribisnis akan menyebabkan perhatian pemerintah bias bagi pengembangan usaha pertanian skala besar, atau berkurangnya perhatian pada petani gurem, penyakap dan penggarap yang kegiatannya, bagi Profesor Mubyarto, bukan bisnis.
Berpegang ada argumen sebelumnya, sekali lagi saya berbeda pendapat dengan Profesor Mubyarto. Usahatani gurem, sakap dan garap adalah juga usaha bisnis sehingga tidak dapaat dijadikan argumen untuk menolak strategi agribisnis yang dicanangkan Depertmenn Pertanian. Masalahnya barangkali bukanlah pada strategi itu sendiri. Kuncinya ialah bagaimana program dan kebijakan operasional pengembangan sistem dan usaha agribisnis tersebut lebih difokuskan bagi pemberdayaan dan pengembangan petani gurem, penyakap dan penggarap tersebut. Inilah yang saya kira perlu kita tuntut dari Departemen Pertanian.
Selain pandangan terhadap sifat farming is a business, dimensi kedua dari paradigma agribisnis ialah pemikiran bahwa bertani atau agriculture tidak bersifat terisolir, bebas dari pengaruh kontekstual off-farm. Paradigma agribisnis berpandangan bahwa usahatani sangat dipengaruhi oleh lingkungan strategis off-farm seperti sistem pemasaran input dan output, pasar input dan output internasional, nilai tukar rupiah, kebijakan perbankan, dan sebagainya. Saya kira pandangan ini benar adanya. Bukankah anjlognya harga gabah petani karena akibat dari penurunan harga beras dunia dan menguatnya rupiah? Bukankah kasus langkanya pupuk di tingkat petani adalah akibat dari tidak baiknya sistem distribusi?
Jika pemikiran ini dapat diterima maka konsep pembangunan sistem agribisnis sangat kontekstual bagi pertanian di Indonesia. Dalam perspektif agribisnis, reformasi agraria merupakan salah saru operasionalisasi dari penataan sistem agribisnis. Peraturan atau hukum agraria merupakan penunjang dalam sistem agribisnis.
Profesor Mubyarto benar, konsep agribisnis diimpor dari Amerika. Konsep ini pada awalnya digagas oleh Profesor Goldberg dan Davis, keduanya warga Amerika, berdasarkan studi kasus Amerika. Tetapi apakah kita harus fobi dengan semua yang impor, termasuk ilmu pengetahuan? Barangkali yang perlu kita gugat ialah apakah konsep tersebut cocok untuk konteks Indonesia, kalau tidak apa alternatif yang lebih sesuai atau bagaimana mengadaptasikannya sehingga pas dengan permasalahan yang kita hadapi.


Penutup

Berbeda dengan Profesor Mubyarto, bagi saya agenda pokok bukanlah meninjau ulang konsep dan pengertian sistem dan usaha agribisnis yang telah dicanangkan Departemen Pertanian sebagai strategi pembangunan pertanian saat ini. Yang kita tunggu-tunggu ialah program dan kebijakan komprehensif ebagai operasionalisasi dari konsep dan strategi tersebut. Termasuk dalam hal ini format reformasi agraria yang bagaimanakah yang dapat mewujudkan operasionalisasi konsep tersebut. Namun dalam hal prinsip dasar bahwa reformasi agraria harus menyumbang pada upaya mengatasi kemiskinan saya sangat sependapat dengan Profesor Mubyarto.
Strategi yang lebih tepat untuk mengurangi jumlah penduduk miskin di pedesaan ialah dengan mengurangi tekanan penduduk terhadap lahan atau mengurangi jumlah petani melalui penyediaan lapangan kerja alternatif di sektor non-pertanian. Fungsi pertanian sebagai kehidupan harus dikurangi. Untuk itu pengembangan agribisnis dalam arti luar di pedesaan merupakan langkah yang tepat.
Reformasi agraria mutlak perlu untuk memfasilitasi pertanian berkelanjutan sebagai basis dari agribisnis di pedesaan. Termasuk dalam hal ini antara lain: kepastian kepemilikan lahan yang menjadi salah satu faktor resiko usaha pertanian saat ini, pencegahan fragmentasi dan upaya konsolidasi lahan pertanian, pengendalian konversi lahan pertanian, serta pengaturan sistem sakap-menyakap dan bagi hasil lahan pertanian. Sayang, issu-issu ini tidak sempat dibahas Profesor Mubyarto.



Dr. Pantjar Simatupang
, Pusat Agro-Ekonomi (PAE), Departemen Pertanian Republik Indonesia.



TERMINAL AGRIBISNIS, PERLUKAH DI KAWASAN TRANSMIGRASI ?
Oleh : Ratna Dewi Andriani

Perubahan paradigma penye-lenggaraan transmigrasi yang berorientasi pada pengembang an agribisnis didukung oleh kebijakan pengembangan komoditas pertanian tertentu dalam skala besar sesuai dengan kebutuhan dan selera konsumen. Pengembangan komoditas tersebut hendaknya mampu menciptakan nilai tambah dan berorientasi pada keuntungan. Disamping itu pendekatan kecukupan pangan yang berorientasi pada produksi hendaknya bergeser menjadi keamanan pangan yang berorientasi pada ketersediaan pangan dan daya beli masyarakat. Ketersediaan pangan itu sendiri dapat didekati dengan kombinasi antara diversifikasi pangan, pengembangan jenis pangan baru, produksi pangan dan impor pangan serta peningkatan daya beli masyarakat melalui pengembangan usaha-usaha produktif dan bernilai tambah tinggi.
Salah satu fokus penting dari pendekatan agribisnis adalah dengan memadukan konsep pembangunan wilayah yang pada akhirnya nanti diharapkan dapat memunculkan komoditas - komoditas andalan/ unggulan dari wilayah pengembangan yang bersangkutan. Pendekatan agribisnis merupakan cara pandang baru dalam melihat pembangunan pertanian secara keseluruhan. Agribisnis sebagai suatu sistem merupakan hasil perpaduan subsistem-subsistem berikut (1) subsistem input, (2) subsistem usaha tani/produksi (3) subsistem pengolahan dan pemasaran, dan didukung oleh (4) subsistem sarana pendukung fasilitas. Disamping itu pendekatan agribisnis dalam pembangunan pertanian tidak akan memperoleh hasil yang maksimal tanpa memperhatikan aspek lingkungan dari wilayah yang akan dikembangkan. Dalam arti kata bahwa mutlak diperlukan mekanisme keterpaduan antara pembangunan pertanian pende katan agribisnis dan pembangunan wilayah secara umum, sehingga di-hasilkan satu sinergi yang kuat untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian perlu diperhatikan konsep pembangunan wilayah pertanian dengan acuan untuk menghasil-kan komoditas unggulan melalui pendekatan agribisnis.
Berbagai permasalahan dan isu yang biasa dihadapi dalam pemasaran hasil agribisnis adalah :
1.        Belum cukupnya infrastruktur pasar berupa jalan, pelabuhan, fasilitas penyimpanan, pengemas-an dan pengolahan.
2.        Terjadinya kehilangan pasca panen atau pemasaran akibat penanganan dan pengemasan yang tidak sesuai.
3.        Kurang tepatnya grading (pengkelasan) serta standarisasi produk-produk hasil panenan.
4.        Terjadinya ketidak stabilan harga akibat pengaruh musim produksi dan kondisi pasar.
5.        Tidak adanya mekanisme penentuan harga yang berlaku.
6.        Tidak cukupnya informasi pemasaran khususnya dalam rangkaian pengum-pulan, analisa dan penyebarluasan informasi yang relevan.
7.        Langkanya kegiatan penelitian dan studi pemasaran.
8.        Sulitnya akses petani kecil pada kredit pemasaran.
9.        Langkanya jasa perluasan pasar yang memadai.
10.     Kurangnya dukungan pemerintah dalam kebijakan dan pengemba-ngan pasar.
 
Untuk itu diperlukan kebijakan distribusi produksi agribisnis yang diarahkan untuk mencapai kinerja pemasaran yang optimal, dengan memasukkan elemen - elemen sebagai berikut :
 
1.        Berbagai macam saluran pemasaran yang dapat diandalkan oleh para produsen.
2.        Melengkapi informasi pasokan dan kebutuhan produk agribisnis dalam sistem distribusi.
3.        Memantapkan pembentukan harga melalui interaksi antara jumlah pasokan dan kebutuhan.
4.        Mempersiapkan fasilitas bangunan dan sarana pemasaran lainnya sesuai dengan daya simpan produk.
5.        Memisahkan kegiatan pemasaran dari kegiatan distribusi fisik komoditi-komoditi agribisnis tersebut.
6.        Mengamankan keselamatan dan kesehatan konsumen dengan menjamin kondisi produk agribisnis yang baik.
Adapun penentuan lokasi terminal agribisnis dapat ditetapkan dengan memper hatikan kriteria sebagai berikut:
1.        Adanya komoditi yang dipasarkan untuk mendukung peluang pasar, sesuai dengan agroekologi dan memberikan kepuasan tertinggi secara ekonomi dan sosial bagi rumah tangga petani, masyarakat dan wilayah yang bersangkutan.
2.        Meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi melalui efisiensi biaya transportasi input produksi dan komunikasi (dalam memper-oleh informasi yang berkaitan dengan produksi, distribusi dan konsumsi).
3.        Meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemasaran melalui efisiensi biaya transportasi dan komunikasi dalam memperoleh promosi, dapat menekan susut dan menjamin stabilitas harga di tingkat petani terutama pada saat panen raya serta memperkuat posisi tawar petani.
4.        Dapat menangani berbagai aspek pada phase pasca panen sesuai dengan kebutuhan pelaku agribisnis dan dapat melakukan fungsi pelayanan pemasaran produk agribisnis secara lebih efisien.
5.        Meningkatkan jangkauan pelayan an umum seperti pasar, bank, sekolah, puskesmas, kantor pos maupun telekomunikasi.
6.        Melahirkan sistim transit dalam skala bisnis dan diharapkan berperan dalam proses agribisnis dengan mengakomo-dasi kepen-tingan seluruh pihak terkait (produsen, pedagang dan konsumen).
7.        Petani dapat menimba informasi agribisnis termasuk peluang pasar, perubahan selera konsumen, harga dan permintaan.
8.        Mempunyai dukungan kebijakan peme-rintah, terutama dalam penyediaan insentif berupa penyediaan infrastruk-tur dan kebijakan fiscal.
Memperhatikan permasalahan, kebijak-an distribusi produksi agribisnis dan kriteria umum penetapan lokasi terminal agribisnis, maka pembangunan terminal agribisnis di kawasan transmigrasi dapat dilaksanakan dengan kriteria tertentu sebagai berikut :
1.        Adanya komoditas yang sesuai dengan agroekologi setempat, menjanjikan pendapatan yang baik, berproduktivitas tinggi sehingga mutu dan kontinyuitas produk dapat dipertanggung jawabkan serta mendapat dukungan pasar baik penyedia input produksi maupun hasil produksi.
2.        Aksesibilitas, terdapat empat manfaat utama terhadap pengem-bangan agribisnis yaitu (a) menekan tingkat susut produksi, menjamin stabilitas harga di tingkat petani pada saat panen raya dan memperkuat posisi tawar petani. Berdasarkan pengamatan langsung di lapang bahwa kondisi prasarana transportasi dan jarak Unit Permukiman Transmigrasi mempe-ngaruhi kehilangan produksi berkisar 10% - 15% dan penurunan mutu berkisar 5% - 10%. (b) penekanan biaya transportasi, berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Kantor UPT dan transmigran bahwa besarnya biaya angkut sangat ditentukan oleh jarak (Km) atau kemudahan pencapaian, kualitas sarana dan prasarana transportasi seperti angkutan termasuk fasilitas pendukung nya. Semakin baik kualitas prasarana maka kerusakan yang terjadi pada sarana angkutan akan berkurang sehingga memperkecil biaya pemeli hara an sarana angkutan, (c) terjadinya komuni-kasi yang lebih mudah akibat meningkatnya jangkauan umum sehingga informasi seperti peluang pasar, perubahan selera konsumen, harga dan permintaan dapat segera diterima oleh petani, (d) kemu-dahan dalam pemasaran, merupakan konsekuensi dari ketepatan penyediaan produk, mutu produk dan sesuai dengan selera konsumen. Dengan demikian petani memiliki posisi tawar dan harga yang stabil meskipun pada saat panen raya. Oleh karena itu faktor aksesibilitas yang paling berpengaruh terhadap penetapan lokasi terminal agribisnis adalah kemudahan pencapaian yang ditunjukkan oleh kondisi prasarana dan sarana transportasi.
3.        Sosial budaya sangat erat kaitannya dengan keamanan, peningkatan sumber daya manusia dan pengembangan teknologi lokal dalam rangka ketersediaan tenaga kerja, sikap tenaga kerja dan upah. Unsur-unsur sosial budaya yang berpengaruh terhadap terminal agribisnis adalah (a) interaksi sosial yaitu kemudahan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan masyarakat luar serta bersifat terbuka terhadap hal-hal yang berasal dari luar seperti teknologi dan informasi, termasuk kehadiran pendatang luar, (b) komposisi usia, jenis kelamin dan dependency ratio yaitu mengetahui jumlah tenaga kerja yang tersedia, potensi tenaga kerja laki-laki dan perempuan dan sejauh mana penduduk usia produktif menanggung secara ekonomi kehidupan penduduk usia non produktif. (c) pendidikan dan ketram-pilan penduduk setempat, untuk memperlihatkan kemampu an sumber daya yang ada dalam menerima tekno-logi, informasi dan bersaing dengan pendatang, (d) komunikasi yaitu ke-mampuan untuk memberikan dan menerima informasi dan (e) lembaga formal dan informal, untuk menjemba-tani pemerintah dan masyarakat dalam rangka pembinaan komunikasi dan peningkatan sumberdaya manusia.
4.        Dukungan kelembagaan baik lembaga penyedia input produksi maupun lembaga pemasaran output. Dukungan tersebut akan mengaktifkan petani untuk terus berproduksi dan mening-katkan hasil secara kontinyu dengan mutu yang dapat dipertanggung-jawabkan. Lembaga penyedia input produksi dapat berfungsi sebagai lembaga pemasaran yang dapat mewakili petani sebagai intelijen pemasaran maupun penggerak produksi yang berlandaskan pada kompetitif wilayah sehingga meningkatkan pendapatan petani melalui efisiensi biaya produksi, biaya transportasi dan kemudahan pemasaran.
5.        Tata ruang baik internal maupun regional, memberikan dukungan terhadap penciptaan aktivitas ekonomi dan memiliki jaringan prasarana perhubungan baik secara internal maupun regional serta memiliki kemudahan dalam pembangunan prasarana listrik dan telekomunikasi.
Dengan demikian perlu tidaknya terminal agribisnis di kawasan transmi-grasi akan menjadi renungan kita bersama dalam meningkatkan kesejah-teraan masyarakat dan memberi peluang berusaha untuk mendorong pro-gram transmigrasi swakarsa mandiri.

REFERENSI :
Said - Gumbira, E. 1999. Terminal Agribisnis: Patok Duga dan Belajar dari Negara Jepang. Agrimedia volume 5 ? no. 3 , Bogor .
Andriati, R.D. 2001. Penentuan Lokasi Pengembangan Agribisnis melalui Analisis Potensi Wilayah. Tesis yang tidak dipublikasikan. Program MMA, IPB Bogor.

Sitorus, P. 1996. Usulan Program Studi Manajemen Agribisnis. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.
Wulandari S. 1997. Analisis Potensi Wilayah Bagi Pembukaan Kantor Bank, Tesis yang tidak dipublikasikan. Program MMA, IPB Bogor .






 

RUMUSAN SEMINAR

PROSPEK DAN PERCEPATAN INVESTASI

AGRIBISNIS PERKEBUNAN

 

Jakarta, 10 Maret 2004

 
 
Seminar sehari yang merupakan kerjasama Lembaga Riset Perkebunan Indonesia (LRPI) dengan Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan , membahas topik “Prospek dan Percepatan Investasi Agribisnis Perkebunan” dan dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2004 di Hotel Hilton Jakarta. Seminar diawali dengan keynote speech Menteri Pertanian dan membahas 6 makalah menyangkut prospek makro ekonomi, arah dan kebijakan investasi pada sub sektor perkebunan, industri hilir perkebunan, serta kiat-kiat percepatan investasi agribisnis perkebunan. Dari paparan dan diskusi yang berkembang, dihasilkan rumusan sebagai berikut:
•  Perekonomian Indonesia pada tahun 2003 menunjukkan perbaikan yang signifikan. Kinerja ekonomi makro dapat dijadikan dasar yang kuat bagi investasi dan percepatan investasi sektor riil, termasuk sektor agribisnis perkebunan. Perkembangan yang baik tersebut juga didukung dengan perkembangan ekonomi dunia yang terus membaik (kecuali Eropah) yang ditunjukan oleh naiknya volume ekspor dan impor dunia, menguatnya mata uang Euro dan Yen terhadap US $, ekonomi Cina sebagai car-full ekonomi dunia, kekuatiran deflasi yang semakin berkurang, indeks komposit spot non-migas yang terus melaju termasuk indeks komoditas pertanian.
•  Diproyeksikan prospek investasi ke depan (tahun 2004) akan baik, yang ditunjukan oleh arus modal yang terus meningkat, cadangan devisa yang tetap berada dalam comfortable zone , kucuran kredit yang terus meningkat dan pertumbuhan ekonomi yang membaik karena ditunjang dengan kebijakan fiskal yang pruden . Akan tetapi perlu think to watch , apakah pemilu transparant dan peacefull , kosolidasi fiskal yang prudent , inflasi yang rendah, dan kepastian hukum. Peluang tersebut perlu dimanfaatkan oleh dunia usaha termasuk agribisnis perkebunan.
1.        Investasi agribisnis perkebunan di Indonesia cukup prospektif, karena didukung antara lain oleh: adanya pertumbuhan permintaan produk primer dan turunannya, political will dan langkah-langkah nyata dari pemerintah dalam bentuk peraturan perundangan dan kebijakan yang mendorong tumbuhnya investasi, daya saing produk-produk ekspor perkebunan yang relatif baik dengan tersedianya input factor yang relatif tersedia, dan masih terbukanya peluang pengembangan industri hilir perkebunan di dalam negeri.
2.        Upaya pengembangan agribisnis perkebunan difokuskan terutama pada: (i) peningkatan produktivitas melalui peremajaan tanaman, (ii) pengembangan areal baru, terutama untuk yang telah mendapat izin usaha, baik pada daerah KTI dan KBI, serta (iii) pengembangan industri hilir, terutama untuk produk-produk yang selama ini di ekspor dalam bentuk produk primer dan mengisi peluang pasar produk hilir dalam negeri. Upaya-upaya tersebut perlu didukung dengan penerapan Iptek.
3.        Pemerintah hendaknya memperhatikan empat faktor kunci yang berpengaruh terhadap percepatan industri hilir perkebunan, yaitu: kebijakan PPN, insentif investasi, harmonisasi tarif, dan konsistensi kebijakan/dukungan pemerintah.
•  Penyempurnaan kebijakan PPN melalui kebijakan satu pintu untuk mengurangi biaya pengurusan dan waktu.
•  Insentif investasi berupa insentif fiskal hendaknya diberikan pada pengusaha yang membangun industri hilir baru (pioneer), dalam bentuk tax holiday , keringanan tarif impor mesin dan alat-alat untuk industri kecil dan menengah, insentif PPh berdasarkan serapan tenaga kerja dan percepatan transfer teknologi.
•  Harmonisasi tarif perlu dilakukan dengan menerapkan tarif proporsional sesuai kandungan produk, pengenaan tarif masuk yang lebih besar terhadap produk hilir dibandingkan produk hulunya (misal teh), pengenaan tarif/pajak ekspor terhadap produk hilir lebih kecil dibandingkan bahan bakunya dan bersifat progresif (seperti produk hilir kelapa sawit).
•  Konsistensi kebijakan/dukungan pemerintah merupakan faktor kunci untuk berhasilnya agribisnis perkebunan, termasuk perlu diperkuatnya koordinasi antara Departemen Pertanian dengan Departemen Industri dan Perdagangan
•  Ekspansi bisnis untuk pengembangan industri downstream perkebunan, dapat dilakukan melaui dua cara, yaitu: integrasi vertikal termasuk didalamnya pengembangan second industry products dan end consummer market , serta diversifikasi horizontal melalui peningkatan skala usaha dan pemanfaatan kapasitas usaha yang idle.
•  Pada dasarnya, pengembangan agribisnis perkebunan tidak bisa berdiri sendiri, tetapi berkolaborasi dengan lembaga lainnya. Konsep cluster merupakan alternatif strategi yang relistis dalam memembangun agribisnis perkebunan yang kompetitif. Dengan pendekatan cluster (konsep KIMBUN mungkin salah satu contoh yang mendekati), memungkinkan terjadinya interaksi yang sinergis berbagai komponen yang saling mendukung yaitu: lembaga riset dan universitas, industri yang terkait, pengusaha dan asosiasi. Cluster based yang efisien akan memicu learning process dan buyer positioning , serta sangat menarik bagi investor global.
•  Menghadapi tantangan kedepan yang semakin kompetitif, maka setiap usaha agribisnis perkebunan dibutuhkan perubahan manajemen (change management) yang meliputi: kemampuan inovasi, kecepatan dan akses, adaptasi teknologi, leadership, dan harus cermat melihat peluang.
•  Rencana tindak lanjut ( action plan ) untuk mempercepat investasi agribisnis perkebunan adalah:
(i) Pelaku bisnis harus bisa meyakinkan bahwa agribisnis perkebunan mempunyai prospek yang baik, untuk itu inisiatif harus datang dari pelaku bisnis ( enterprenure ), investasi agribisnis perkebunan dapat memanfaatkan dana-dana dari luar negeri serta lembaga non-bank yang ada di dalam negeri,
(ii) Karena masalah perkebunan ada di off-farm , maka perusahaan perkebunan (BUMN dan Swasta) harus mengembangkan usahanya pada downstream /industri perkebunan agar produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah dan daya saing yang tinggi.
(iii) Kedepan mengharapkan kredit investasi dengan bunga murah dari pemerintah akan sulit, pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator melalui kebijakan makro dan sektoral yang mendukung pengembangan agribisnis perkebunan.
(iv) Pemerintah diharapkan dapat memperhatikan beberapa peraturan yang potensial menghambat investasi perkebunan seperti: batasan luas usaha yang ada pada RUU Perkebunan, rencana peraturan pemerintah (RPP) tentang pajak ekspor CPO, pajak pertambahan nilai (PPN) produk perkebunan, dan peraturan daerah/restribusi yang memberatkan usaha perkebunan terutama bagi petani/pekebun sebagai produsen yang utama. Selain itu diharapkan kebijakan/ dukungan pemerintah terhadap agribisnis perkebunan hendaknya konsisten dan adanya koordinasi antar Departemen/lembaga terkait.
(v) Pengembangan konsep KIMBUN ke depan perlu memperhatikan pendekatan cluster , agar efisien dan menarik investor global.
 
Jakarta , 10 Maret 2004
Tim Perumus



Kunjungan ke-653,
Sejak: 25 Juni 2004








[1] Merupakan ringkasan hasil pengamatan dalam keikusertaan di Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia Tahun 2001 - 2002
[2] Peneliti pada Departemen Keuangan, Badan Analisa Fiskal, Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan

No comments:

Post a Comment